Senin, 01 Oktober 2007

URGENSI PENETAPAN BATAS MAKSIMUM TANAH PERTANIAN DI INDONESIA


PENULIS : ANDI EMELDA SUARDI (Mahasiswa Fakultas Pertanian Jurusan Sosek Pertanian angkatan 2004).

Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia. Pengaturan tentang penguasaan pemilikan tanah telah disadari dan dijalankan sejak berabad-abad lamanya oleh negara-negara di dunia. Perombakan atau pembaruan struktur keagrariaan terutama tanah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terutama rakyat tani yang semula tidak memiliki lahan olahan/garapan untuk memiliki tanah. Oleh Parlindungan (1980:27) dikatakan bahwa negara yang ingin maju harus mengadakan land reform.

Hampir semua negara di dunia pernah melakukan reforma agraria. Tonggak pertama reforma agraria dimulai dari Yunani Kuno, Romawi Kuno, Inggris, Perancis, hingga Rusia. Pada masa itu kaum bangsawan dengan fasilitas yang dimilikinya pada umumnya menguasai lahan-lahan pertanian yang luas. Untuk mencegah pemberontakan rakyat terutama petani-petani yang tidak mempunyai lahan atau mempunyai lahan tetapi sempit maka Kaisar mengeluarkan titah tentang pembagian kembali lahan-lahan pertanian kepada petani . Dilaksanakannya Konferensi Dunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Developent) yang diselenggrakanan oleh FAO (Food and Agriculture Organisation) PBB di Roma pada bulan Juli 1979 merupakan tonggak yang penting dalam sejarah perjuangan yang panjang untuk melawan kemiskinan dan kelaparan. Konferensi ini berhasil merumuskan Deklarasi Prinsip-prinsip dan Program Kegiatan (Declaration of Principles and Programme of Action) yang dikenal dengan Piagam Petani (The Peasants’ Charter).
Indonesia merupakan salah satu peserta dari konferensi dunia itu melakukan pembaruan di bidang keagrariaan pada periode 1960-an sebagai perwujudan dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disingkat UUPA) pada tanggal 24 September 1960, yang selanjutnya diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 tentang Luas batas maksimum dan minimum pemilikan tanah , pada tanggal 24 Desember 1960.

Pertanyaan sekarang adalah sejauhmanakah urgensi pembatasan luas batas maksimum dan minimum kepemilikan tanah dalam upaya pencegahan dan penyelesaian konflik pertanahan di Indonesia?

1. Pengertian dan Dasar Hukum Landreform
Land Reform diartikan dengan perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah. Oleh A.P. Parlindungan dikatakan istilah land reform bukan hanya dalam pengertian politik belaka tapi juga pengertian teknis. Land reform di Negara-negara komunis merupakan slogan untuk memenangkan massa rakyat, karena issue tanah, pemilikan tanah, distribusi tanah, hancurkan tuan tanah adalah issue emosional yang sangat menarik, sehingga banyak sarjana maupun FAO (Food and Agricultural Organization) mempergunakan istilah Agrarian Reform daripada istilah Land Reform (Parlindungan A.P. 1989:8).

Agrarian reform Indonesia meliputi lima program yaitu:
pembaharuan hukum agrarian
penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi colonial atas tanah
mengakhiri penghisapan feudal secara berangsur-angsur
perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah
perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta penggunaan bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu secara berencana sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.

Keseluruhan yang tersebut di atas merupakan pengertian land reform dalam arti luas sedangkan pengertian land reform dalam arti sempit terdapat pada point 4.(Perangin, Effendi, 1989:121).

2. Dasar Hukum Land Reform:
Sebagai pelaksanaan dari pasal 17 UUPA tentang batas minimum dan maksimum hak atas tanah, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1960. Perpu No. 56/1960 ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No.56 Prp tahun 1960 (LN 1960 no. 174, Penjelasannya dimuat dalam TLN No. 5117 tentang Penetapan luas tanah pertanian. UU No. 56/1960 merupakan undang-undang land reform di Indonesia (Harsono, Boedi, 1999:356). Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 (LN 1961-280) tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi. (Parlindungan, A.P., dalam Nur, S.R., 1986:23).

3. Tujuan Land Reform
Tujuan dari land reform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

4. Program Land Reform
Program land reform meliputi:
pembatasan luas maksimum pemilikan tanah
larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut “absentee” atau “guntai”
redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan “absentee”, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah Negara
pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan
penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

5. Analisis

Sebagaimana di uraikan di atas bahwa salah satu program landreform adalah pembatasan luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki oleh rakyat. Namun, Pelaksanaan pembatasan kepemilikan tanah hingga sekian puluh tahun usia UUPA masih juga belum seperti yang diharapkan. Ini tampak dari beberapa hal yaitu :

Pertama, kepemilikan tanah secara absentee, yang seringkali merupakan hal yang diketahui, tetapi sulit untuk dibuktikan karena dilakukan melalui cara-cara pembuatan surat kuasa mutlak atau pemilikan KTP ganda.


Kedua, pemilikan batas maksimum juga tidak selalu terdeteksi dan hal-hal seperti ini menyumbang pada persoalan macetnya program landreform.
Ketiga, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang maksimum luas tanah yang dapat dikuasai dengan menggunakan hak guna usaha (HGU). Pada pasal 28 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria, hanya disebutkan bahwa HGU diberikan atas tanah yang luasnya minimal lima hektar, den-gan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tek-nik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan jaman. UUPA sama sekali tidak menyinggung tentang luas maksimal HGU.

Untuk HGU, bila luasnya kurang dari 25 hektar dan peruntukan tanahnya bukan untuk tanaman keras serta perpanjangan waktunya tidak lebih dari lima tahun, maka yang berwenang memberikan adalah Gubernur. Selanjutnya, peraturan Kepala BPN No. 3 tahun 1992 menyebutkan pemberian HGU kurang dari 100 hektar ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN setempat, sedangkan untuk HGU yang mencapai lebih dari 100 hektar diberikan oleh Kepala BPN.

Luas maksimum tanah hak guna bangunan (HGB) juga tidak diatur oleh UUPA. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 6 tahun 1972, Pasal 4 menyatakan keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000 meter persegi dan jangka waktunya tidak melebihi 20 tahun di-berikan oleh Gubernur. Sedangkan menurut peraturan Meneg Agraria No. 2 tahun 1993, Surat Keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya lebih dari 5 hektar diterbitkan oleh Kakanwil BPN dan jika luasnya kurang dari 5 hektar diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Hal ini menjadi salah hambatan dalam pelaksanaan aturan tentang batas luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki.
Peraturan yang jelas dan tegas tentang pembatasan pemilikan tanah kini menjadi semakin penting, seiring dengan kebutuhan atas tanah yang semakin meningkat. Terhadap penguasaan tanah pertanian, Pasal 7 UUPA meletakkan prinsip bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperk-enankan agar tidak merugikan kepentingan umum. Maka, Pasal 11 ayat (1) UUPA mengatur hubungan antara orang dengan tanah beserta wewenang yang timbul darinya. Hal ini juga dilakukan guna mencegah penguasaan atas kehidupan dan perkerjaan orang lain yang melampaui batas. Kemudian ayat 2 dari pasal yang sama juga memperhatikan adanya perbedaan da-lam keadaan dan keperluan hukum berbagai golongan masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Penekanan dari aturan ini adalah akan diberikannya jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah. Dalam Pasal 12 dan Pasal 13 UUPA, pemerintah menegaskan usaha pencegahan monopoli swasta. Sedang-kan usaha pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang.

Masalah penguasaan tanah pertanian, prinsip dasarnya telah digariskan dalam Pasal 7 dan Pasal 10 (prinsip mengerjakan atau mengusahakan sendiri hak atas tanah pertanian secara aktif) serta Pasal 17 yang mengisyaratkan tentang perlunya peraturan mengenai batas maksimum luas tanah pertanian yang dapat dipunyai oleh satu keluarga atau badan hukum.
Urusan tanah-tanah nonpertanian diatur dengan UU No. 56 PRP tahun 1960 Pasal 12 tentang perlunya pembatasan maksimum luas dalam jumlah (bidang) tanah untuk perumahan. Sedangkan untuk pembangunan lainnya akan diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Namun hingga saat ini PP tersebut masih belum juga terbit.
Sebelum memperoleh hak atas tanah, pemilik HGU dan HGB (biasanya adalah penanam modal) harus memperoleh ijin lokasi yang sering berdampak negatif karena disalah gunakan serta pengawasan dan pengendaliannya tidak efektif. Perolehan tanah lewat ijin lokasi tanpa ketentuan batas maksimum tanah sering diwarnai dengan pemberian ganti rugi yang tidak adil dan disertai pemaksaan kehendak secara sepihak dan penggusuran. Alih fungsi tanah pertanian sering dilakukan untuk dijual lagi dengan harga mahal.

Tanah tidak pernah dijadikan strategi pembangunan sehingga pelaksanaan UUPA sering terhambat secara politis psikologis. Hingga kini belum ada alokasi penggunaan tanah untuk berbagai keperluan sehingga sering timpang. Rencana tata ruang juga sering dimanipulasi oleh banyak pihak. Pemerintah saat ini perlu memiliki lembaga penyalur tanah (land banking), untuk mengendalikan pihak swasta yang ingin menguasai tanah secara besar-besaran untuk berbagai keperluan. Selain itu, orientasi pembangunan yang cenderung mengejar pertumbuhan dan bertumpu pada strategi industrialisasi tanpa perencanaan penggunaan tanah yang baik, berakibat pada pengalihfungsian tanah-tanah pertanian untuk kegunaannya yang lain. Akibat dari ketimpangan akses kepemilikan tanah ditambah dengan rasa ketidakadilan dari bekas pe-megang hak atas tanah yang tergusur dan kecemburuan sosial dari masyarakat yang tersingkirkan dari ke-sempatan memperoleh tanah, ditambah krisis moneter yang membuat banyak orang terkena PHK, kini tampak dalam bentuk penyerobotan dan "penjarahan" tanah.
Pilihan kebijakan pertanahan dalam kaitannya dengan penguasaan tanah adalah keseimbangan antara memberikan ruang gerak bagi berkembangnya investas sekaligus melindungi dan memberdayakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya atas tanah. Jika dapat memilih, maka dasar kebijakan yang perlu diambil haruslah kebijakan pertanahan yang bertumpu pada ekonomi kerakyatan demi pelaksanaan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Kata kunci dari semuanya adalah tanah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kebijaksanaan pertanahan harus mampu menjamin keadilan untuk mendapat akses dalam perolehan dan pemanfaatan tanah. Selain itu, kebijakan ini mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan berbagai keputusan penting yang menyangkut pemanfaatan tanah terutama yang berskala dan berdampak besar. Masyarakat juga harus dapat turut mengawasi terlaksananya berbagai ketentuan yang menyangkut pen-guasaan tanah yang punya dampak besar.
Sudah saatnya dilakukan sesuatu yang konkrit melalui pendekatan holistik dalam merancang kebijakan pe-nataan kembali penguasaan tanah agar kebijakan yang diterbitkan tidak terkesan parsial atau justru malah bertentangan sama sekali.
Dari uraian ini disimpulkan bahwa pembatasan luas maksimum dan minimum tanah merupakan hal yang penting karena pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan dapat merugikan kepentingan umum. Selain itu, pembatasan juga dapat memberi pengaturan untuk mengatur hubungan antara orang dengan tanah beserta wewenang yang timbul darinya. Hal ini juga dilakukan guna mencegah penguasaan atas kehidupan dan perkerjaan orang lain yang melampaui batas. Penekanan lain dari aturan ini adalah akan diberikannya jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah dengan melakukan usaha pencegahan monopoli swasta. Hal ini dapat lebih memudahkan proses pencegahan atau penyelesaian konflik pertanahan yang timbul di kemudian hari. (posted by fia s.aji)

Rabu, 26 September 2007

ALAS HAK DIBAWA TANGAN SEBAGAI DASAR PENERBITAN SERTIPIKAT



Fia S. Aji (Kantor Pertanahan Kota Gorontalo)
Pendaftaran tanah pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kepastian hak kepada pemilik tanah. Terbitnya sertifikat merupakan pemberi rasa aman kepada pemilik tanah akan haknya pada tanah tersebut. Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah maka sertifikat tanah berfungsi sebagai pembuktian yang kuat. Sertifikat tanah merupakan tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang terdapat di dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
Salah satu masalah yang berkaitan erat dengan kepastian hukum dalam pendaftaran tanah adalah masalah pembuktian. Dalam pendaftaran tanah dikenal 2 (dua) pendaftaran hak yaitu :
A. Hak atas tanah baru. Pembuktian hak atas tanah baru dilakukan dengan :

Penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenangmemberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak berasal dari tanah negara atau tanah hak pengelolaan

Asli akta PPAT yang memuat pemberian hak oleh pemegang hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan untuk hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik

Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang;

Tanah wakaf yang dibuktikan dengan akta ikrar wakaf;

Hak milik atas satuan rumah susun yang dibuktikan dengan akta pemisahan;

Pemberian Hak Tanggungan dibuktikan dengan akta pemberian Hak Tanggungan.

Pembuktian hak lama berdasarkan Pasal 24 PP No. 24 Tahun 1997 yaitu ;

Untuk keperluan pendaftaran tanah, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat bukti menganai adanya hak tersebut berupa alat bukti tertulis, keterangan sanksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan pihak lain yang membebaninya.
Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat pembuktian maka pembuktian dapat dilakukan berdasarkan pentaanya penguasaan fisik tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya.

B. Hak Lama
Dalam Pasal 60 PP No. 24 Tahun 1997 terdapat beberapa alat bukti tertulis yang dapat digunakan bagi pendaftaran hak-hak lama dan merupakan dokumen yang lengkap untuk kepentingan pendaftaran tanah adalah grosse akta hak eigendom, surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja yang bersangkutan, sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri No. 9 Tahun 1959, surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang baik sebelum atau sejak berlakunya UUPA, petuk Pajak Bumi sebelum berlakunya PP No, 10 Tahun 1961, akta pemindahan hak yang dibuat dibawa tangan yang dibubuhi kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 dengan disertai alas hak yang dialihkan, akta pemindahan hak yang dibuat oleh PPAT, akta ikrar wakaf, risalah lelah yang dibuat oleh Pejabat Lelang, surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah yang diambil pemerintah, surat keterangan riwayat tanah yang dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan.
besarnya jumlah pendaftar dalam pendaftaran tanah yang menggunakan alas hak berupa akta dibawa tangan sangat dipengaruhi oleh keadaan masyarakat mana masih banyak tanah yang belum bersertifikat. Hal ini tentu saja disebabkan oleh mekanisme pendaftaran tanah terlalu berat bagi masyarakat baik prosedur maupun biaya pendaftarannya.
Dari beberapa alat bukti lama yang dapat digunakan untuk melakukan pendaftaran tanah untuk pertama kali berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 penulis melihat ada 2 alat bukti yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu :
1. Alat bukti Kesaksian
Pembuktian dengan saksi dalam hukum pertanahan dipergunakan sebagai bukti kepemilikan sebidang tanah berupa bukti tertulis yang dimaksud di atas tidak lengkap atau tidak ada, maka pembuktian hak dapat dilakukan dengan pernyataan yang bersangkutan dan keterangan yang dipercaya dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi dari lingkungan msyarakat setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan ke atas maupun ke samping.
Tujuan pendaftaran tanah pada hakikatnya adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum yang bermuara pada perlindungan hukum pemegang hak atas tanah. Dengan demikian, sertifikat tanah merupakan alat bukti yang sangat penting bagi subjek hukum atas tanah sehingga sangat naif sekali jika PP No. 24 Tahun 1997 mensyaratkan alat bukti saksi dalam melakukan proses penerbitan tanah karena menurut penulis alat bukti saksi memiliki bobot yang sangat ringan dan rentan terhadap risiko kekeliruan. Jika sebuah peristiwa telah terjadi dalam waktu yang lama maka tidak jarang terjadi bahwa apa yang terjadi tidak dapat diingat secara keseluruhan.

Untuk memberi kesaksian terhadap peristiwa yang telah lama bukanlah hal yang mudah. Pada umumnya pada waktu penangkapan kejadian, pihak saksi tidak mengarahkan tindakannya untuk menjadi saksi di kemudian hari sehingga pengamatannya pada saat kejadian dapat saja tidak teliti. Penangkapan sebuah peristiwa dan kemudian mengolahnya serta aklhirnya menuturkannya sebagai kesaksian merupakan proses yang dapat mengaburkan kebenaran di kemudian hari.

2. Alat bukti dibawa tangan
Dalam teori hukum dikenal 2 (dua) jenis akta yaitu akta otentik dan akta dibawa tangan. Akta otentik diatur dalam Pasal 165 HIR, Pasal 1868 BW dan Pasal 285 Rbg. Akta otentik berdasarkan pasal-pasal dalam bebrapa peraturan ini memiliki kekuatan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya dan orang-orangyang mendapat hak darinya.
Alat bukti dibawa tangan tidak diatur dalam HIR namun diatur dalam S 1867 No. 29 untuk Jawa dan Madura dan Pasal 286 sampai Pasal 305 Rbg. Akta dibawa tangan diakui dalam KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 telah ditentukan syarat sahnya perjanjian. Dilihat dari 4 syarat sah yang dimaksud maka dapat ditafsirkan bahwa suatu akta yang tidak dibuat oleh dan dihadapan PPAT adalah tetap sah sepanjang para pihak telah sepakat dan memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Fungsi akta ada 2 yaitu fungsi formal yang menentukan lengkapnya (bukan untuk sahnya) dan fungsi akta sebagai alat bukti di kemudian hari.
Kekuatan pembuktian antara akta otentik dengan akta dibawa tangan memiliki perbedaan. Dilihat dari kekuatan pembuktian lahir di mana sebuah akta autentik ditandatangani oleh pejabat yang berwenang maka beban pembuktian diserahkan kepada yang mempersoalkan keuatentikannya. Sedangkan untuk akta dibawa tangan maka secara lahir akta tersebut sangat berkait dengan tanda tangan. Jika tanda tangan diakui maka akta dibawa tangan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Kekuatan yang dimiliki oleh tanda tangan bukan kekuatan pembuktian lahir yang kuat karena terdapat kemungkinan untuk disangkal.
Kekuatan pembuktian formal pada akta otentik memiliki kepastian hukum karena pejabatlah yang menerangkan kebenaran dari apa yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat, sedangkan untuk akta dibawa tangan maka pengakuan dari pihak yang bertanda tangan menjadi kekuatan pembuktian secara formal.
Sehubungan dengan keabsahan surat dibawa tangan maka penulis meninjau dari dua hal :
Secara umum, di Indonesia terdapat beberapa yurisprudensi yang menegaskan bahwa transaksi yang tidak dilakukan di depan pejabat yang berwenang merupakan transaksi yang tidak sah menurut hukum sehingga para pihak tidak perlu mendapat perlindungan hukum. Yurisprudensi yang dimaksud antara lain Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 598 K/Sip/1971 tertanggal 18 Desember 1971, Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 601.K/Sip/1972 tertanggal 14 Maret 1973, Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 393 K/Sip/1973 tertanggal 11 Juli 1973.
Secara khusus dalam aturan-aturn tentang pendaftaran tanah. Dalam Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agraria No. 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah :
Akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah adalah :
Akta Jual Beli
Akta Tukar Menukar
Akta Hibah
Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan
Akta Pembagian Hak Bersama
Akta Pemberian Hak Tanggungan
Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik
Akta Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik


Selain itu, akta-akta sebagaimana dimaksud pada ayat 1 PPAT juga membuat surat kuasa membebankan hak tanggungan yang merupakan akta pemberian kuasa yang dipergunakan dalam pembuatan akta pemberian hak tanggungan.
Ketentuan di atas berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. Dari aturan dalam Peraturan Menteri Negara tersebut dapat dilihat adanya keharusan untuk melakukan segala perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanmah harus dibuat oleh dan di hadapan pejabat pembuat akta tanah. Ketentuan ini bersifat mengikat dan mengandung konsekuensi hukum bahwa suatu transaksi dengan objek berupa tanah apabila dilaksanakan dibawa tangan, terancam batal, sebab bertentangan dengan peraturan yang mengharuskan setiap transaksi dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Dalam hukum, berlaku asas aturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah. Jika berdasarkan asas ini maka izin untuk menggunakan akta dibawa tangan untuk digunakan sebagai alas hak dalam penerbitan sertifikat dapat dibenarkan. Namun, dissinkronisasi antara PP No. 24 Tahun 1997 dengan Keputusan Menteri Negara Agraria berimplikasi pada ketidakpastian bagi masyarakat. Multiinterpretasi dapat terjadi dengan adanya perbedaan antara keduanya.
Dis-sinkronisasi antara kedua peraturan tersebut berimplikasi pula pada kinerja Badan Pertanahan dalam upaya mewujudkan tertib pertanahan di Indonesia. Kesimpangsiuran dalam melakukan interpretasi dapat menimbulkan keraguan pada kewibawaan Badan Pertanahan sebagai instansi yang berwenang untuk melakukan pengaturan atas tanah yang ada. Hal ini merupakan satu penyimpangan terhadap upaya mewujudkan tujuan hukum sekaligus merupakan pemicu kerusakan sistem hukum yang ada
Terwujudnya kepatian hukum dalam pendaftaran tanah tidak lepas dari faktor kekurangan dalam substansi aturan pertanahan, dissinkonisasi peraturan yang ada. Secara normatif, kepastian hukum memerlukan tersedianya perangkat aturan perundang-undangan yang secara operasional mampu mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, keberadan peraturan-peraturan itu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya.
Tujuan hukum bukan hanya keadilan tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Pemenuhan keadilan dalam suatu peraturan perundang-undangan belum cukup karena masih memerlukan syarat kepastian hukum. Kepastian hukum akan tercapai bila suatu peraturan dirumuskan secara jelas sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda serta tidak terjadi tumpang tindih antara peraturan yang ada, baik secara vertikal maupun horizontal. Mewujudkan sistem hukum yang baik akan mejadi sebuah hal yang sulit jika substansi aturan yang mendasarinya pun terdapat kesimpangsiuran akibat ketidaksinkronan aturan yang ada.

Salah satu pihak yang sangat berperan dalam pembuatan akta otentik adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan pejabat umum di mana dalam pelaksanaan tugasnya berkewajiban untuk mendaftarkan segala akta yang dibuatnya pada kantor pertanahan sejak penandatanganan. Pejabat Pembuat Akta Tanah sangat membantu Kepala Kantor Pertanahan untuk mencapai tertib pertanahan.
Data fisik dan data yuridis yang dilaporkan secara bulanan oleh PPAT mendukung upaya pemerintah untuk mneyediakan informasi kepada masyarakat. Hal inilah yang membedakan antara akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT dengan akta dibawa tangan. Kontrol terhadap kebenaran alat bukti dibawa tangan sangat rentan dengan kekeliruan sedangkan untuk akta autentik, pihak BPN dapat lebih menjamin kebenaran data fisik dan yuridis yang dinyatakan di dalamnya.
Menurut pendapat penulis, berbicara tentang keabsahan surat dibawa tangan sangat berkaitan dengan masalah kekuatan hukum dari surat di bawa tangan. Berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang ada, surat dibawa tangan tidak memiliki kekuatan hukum. Namun demikian, surat di bawa tangan tetap dapat dijadikan sebagai alat bukti, dan hal ini tentu saja terkait dengan masalah tanda tangan dan kesaksian dalam surat tersebut.
Keberadaan surat di bawa tangan sebagai dasar dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik tetap diakui dalam peraturan-Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, meskipun surat di bawa tangan tidak memiliki kekuatan hukum. Untuk dapat dijadikan sebagai alas hak dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik dan dapat memiliki kekuatan pembuktian maka surat di bawa tangan tersebut harus memenuhi prosedur dan persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 24 Ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 yang menetapkan bahwa dalam hal tidak ada lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian yang berdasarkan pembuktian, pembukuan hak dapat dilakukan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dari pendahulu-pendahulunya dengan syarat :
Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh Kesaksian oleh orang yang dapat dipercaya.
Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak lainnya.
Keterangan dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai orang tertua adat setempat dan atau penduduk yang sudah lama bertempat tinggal di desa/kelurahan letak tanah yang bersangkutan dan tidak mempunyau hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal.
Kesaksian dari Kepala Kelurajan/Kepala Desa.
Surat pernyataan penguasaan secara fisik yang dibuatkan oleh pemohon pendaftaran tanah antara lain berisi :
Bahwa fisik tanahnya secara nyata dikuasai dan digunakan sendir oleh pihak yang mengaku atau secara nyata tidak dikuasai tetapi digunakan pihak lain secara sewa atau bagi hasil atau dengan bentuk hubungan perdata lainnya.
Bahwa tanahnya sedang/tidak dalam keadaan sengketa.
Bahwa apabila penandatanganan memalsukan isi surat pernyataan, bersedia dituntut di muka hakim secara pidana maupun perdata karena memberikan keterangan palsu.
Jadi, jika seluruh syarat bagi sebuah surat dibawa tangan telah dipenuhi untuk dapat dijadikan dasar dalam penerbitan sertifikat hak milik berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 24 tahun 1997 adalah maka surat dibawa tangan tersebut dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan sertifikat dan memiliki kekuatan pembuktian. Dalam kenyataan yang banyak terjadi, meskipun persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 telah dipenuhi, akan tetapi banyak persoalan yang tetap timbul sehubungan dengan penggunaan surat di bawa tangan sebagai dasar penerbitan Sertifikat Hak Milik. Beberapa persoalan yang pada Kantor Pertanahan saat ini adalah sebagai berikut :
Dalam proses pendaftaran tanah secara massal, pihak Kantor Lurah atau kantor Desa biasanya membantu mengkoordinir pelaksanaan di lapangan termasuk dalam hal pembuatan surat-surat tanah bagi masyarakat yang belum memiliki surat tanah. Oleh karena waktu yang singkat dengan jumlah pemohon yang banyak maka pihak Kantor Kelurahan atau Kantor Desa hanya sekedar menandatangani tanpa mempelajari kebenaran surat tanah yang diajukan, bahkan untuk seluruh masyarakat, surat tanah mereka ditandatangi saksi yang sama yaitu 2 (dua) orang dari aparat desa atau kelurahan. Kebenaran surat tanah ini menjadi sulit untuk dijamin karena proses yang cepat dan tidak teliti.
Masih sehubungan dengan proses pembuatan surat tanah di Kantor Kelurahan atau Desa, pada saat sebuah surat tanah menjadi perkara di Pengadilan, Kepala Kelurahan atau kepala Desa yang menandatangani sering menggunakan dalih bahwa merka tidak mengetahui riwayat tanah tersebut karena mereka adalah kepala Kelurahan atau Kepala Desa yang baru menjabat selama 3 (tiga) bulan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa jaminan kepastian hukum atas tanah dengan alas hak dibawa tangan tersebut tidak ada, karena Pejabat yang menandatanganinya beserta para aparatnya yang turut bersaksi dalam surat ternyata tidak mengetahui riwayat tanah yang mereka persaksikan.
Kondisi selanjutnya yang terjadi di kantor Keluruhan atau kantor Desa adalah tidak ada buku tanah desa yang menjadi catatan atau pengadministrasian terhadap setiap peralihan tanah yang terjadi shingga sangat wajar, jika kepala desa atau kepala kelurahan yang baru tidak mengetahui riwayat tanah yang sebenarnya. Kondisi fatal yang terjadi pula sehubungan dengan pembuatan surat tanah oleh pihak Kantor Kelurahan atau Kantor desa adalah seringnya muncul 2 (dua) surat tanah yang berbeda untuk tanah yang sama namun ditandatangani oleh Kepala Desa yang sama.
Dari uraian di atas dihubungkan dengan keberadaan surat di bawa tangan sebagai salah satu pembuktian hak lama maka alas hak dalam penerbitan sertifikat pada pendafataran tanah berupa surat di bawa tangan dapat menimbulkan ketidakpastian bagi pemegang hak. Munculnya beragam interpretasi tentang keabsahan sebuah surat dibawa tangan yang menyebabkan lahirnya Putusan Hakim yang berbeda-beda merupakan salah satu bukti bahwa peralihan dengan menggunakan surat dibawa tangan yang dijadikan sebagai alas hak dalam pendaftaran tanah tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi para pemilik tanah.
Kondisi-kondisi di atas tentu saja akan sangat menyulitkan masyarakat ketika suatu saat ada pihak lain yang mengklaim tanah yang mereka miliki. Keadaan lain yang terjadi adalah beberapa anggota masyarakat ternyata telah kehilangan tanah mereka tanpa mereka ketahui dan pada saat mereka mengajukan upaya penyelesaian, ternyata mereka tidak memiliki daya apa-apa karena surat tanah yang mereka miliki harus gugur karena pihak lain memiliki bukti berupa akta autentik.
Mencermati uraian-uraian di atas sehubungan dengan penggunaan surat dibawa tangan sebagai dasar penerbitan sertfikat hak milik, penulis berpendapat bahwa surat di bawa tangan tidak memiliki kekuatan hukum namun tetap dapat digunakan sebagai dasar penerbitan Sertifikat Hak Milik sepanjang data yang diterangkan di dalamnya mengandung kebenaran dan diketahui oleh minimal 2 (dua) orang saksi bersama Kepala Kelurahan atau Kepala Desa sebagai pihak yang dianggap mengetahui riwayat tanah pada Kelurahan atau desa tempat mereka menjabat. Namun demikian, surat di bawa tangan ini tidak bisa memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pemegang sertifikat karena dalam kenyataannya di Pengadilan, para hakim memiliki interpretasi yang berbeda mengenai keabsahan surat dibawa tangan.
Kondisi lain yang menyebabkan ketidakpastian bagi pemilik sertifikat yang penerbitannya didasarkan pada surat dibawa tangan adalah kondisi administrasi kelurahan atau desa yang belum tertib. Banyaknya Kelurahan atau Desa yang tidak memiliki buku tanah desa menyebabkan munculnya surat-surat tanah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Akibatnya, meskipun sertifikat merupakan alat bukti yang kuat bagi pemegangnya namun belum bisa memberikan jaminan adanya kepastian hukum bagi mereka mengingat bahwa asas yang dianut oleh sistem pendaftaran tanah di Indonesia adalah asas negatif (bertendensi positif) yaitu sebuah sertifikat dapat dibatalkan jika ada pihak lain yang dapat membuktikan kepemilikannya atas tanah tersebut.
Untuk mengantisipasi munculnya masalah dalam penggunaan surat di bawa tangan sebagai dasar penerbitan sertifikat, maka dalam proses pembuatan surat tanah dibawa tangan, seluruh pihak yang terkait seharusnya mengutamakan ketelitian dan kecermatan serta kehati-hatian agar tidak menyebabkan ketidakpastian bagi para pemilik sertifikat ataupun pemilik tanah yang sebenarnya (jika ternyata sertifikat diterbitkan kepada pihak yang tidak berhak).


Note :



dibawa tangan=di bawah tangan. Pada awalnya penulis menganggap bahwa penulisan adalah dibawa tangan akan tetapi berdasarkan pemberitahuan seorang dosen saya mengatakan bahwa yang benar adalah dibawa tangan bukan di bawah tangan, saat ini penulis sedang mencari dasar untuk mengetahui mana yang benar, dibawa tangan atau di bawah tangan.

KEDUDUKAN KREDITOR DALAM PENJAMINAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

FIA S.AJI (KANTOR PERTANAHAN KOTA GORONTALO)
Meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

Sejak bertakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sampai dengan saat ini, ketentuan-ketentuan yang lengkap mengenai Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan yang dapat dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah, belum terbentuk. Ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan ketentuan mengenai Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Hak Tanggungan, dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia sedangkan perkembangan yang telah dan akan terjadi di bidang pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, selain Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan yang telah ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Hak Pakai atas tanah tertentu yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebani Hak Tanggunga.

Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka dibentuklah Undang-undang yang mengatur Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional.

Hak tanggungan lahir dengan sebuah perjanjian. Dalam kenyataan, banyak pihak pemberi hak tanggungan yang ternyata lalai atau sengaja melalaikan kewajiban dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya melakukan penjualan terhadap barang jaminan. Sehingga perlu kiranya dikaji lebih jauh kedudukan kreditor penerima tanggungan dalam hal terjadinya wanprestasi dari pemberi tanggungan.

A. Pengertian Hak Tanggungan

Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Adapun beberapa unsur pokok dari hak tanggungan adalah:

  1. hak yaitu hak jaminan yang dibebankan atas tanah sebagai yang dimaksud oleh UUPA;
  2. berikut atau tidak berikut dengan benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;
  3. untuk pelunasan utang tertentu
  4. memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur yang lain.

B. Ciri-Ciri dan Sifat Hak Tanggungan

Adapun ciri-ciri hak tanggungan adalah:

  1. droit de prefenrence (pasal 1 angka 1 dan pasal 20 ayat (1) UUHT).
  2. droit de suite (pasal 7 UUHT)
  3. memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas.
  4. asas spesialitas yaitu asas yang mewajibkan dalam muatan akta pemberian hak tanggungan harus mencantumkan ketentuan-ketentuan seperti ditegaskan dalam pasal 11 UUHT. Sedangkan asas publisitas yaitu asas yang mewajibkan didaftarkannya hak tanggungan pada kantor pertanahan setempat (pasal 13 UUHT).
  5. mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
  6. objek hak tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi hak tanggungan sebelum kreditor pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan dari hasil penjualan obyek hak tanggungan (pasal 21 UUHT).

Sedang sifat-sifat hak tanggungan antara lain:

  1. tidak dapat dibagi-bagi (pasal 2 UUHT)
    Meskipun sifat hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, artinya hak tanggungan membenani obyek secara utuh, namun sifat ini tidak berlaku mutlak dengan pengecualian dimungkinkan roya parsial , sepanjang diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
  2. bersifat accesoir atau perjanjian buntutan/ikutan, maksudnya perjanjian jaminan utang atas hak tanggungan tidak berdiri sendiri karena ikut pada perjanjian pokok yaitu perjanjian utang-piutang, apabila perjanjian pokok hapus atau batal, maka otomatis perjanjian accesoir menjadi hapus pula.

C. Objek Hak Tanggungan

Objek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA. Benda-benda (tanah) akan dijadikan jaminan atas suatu utang dengan dibebani hak tanggungan harus memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. dapat dinilai dengan uang;
  2. harus memenuhi syarat publisitas;
  3. mempunyai sifat droit de suite apabila debitor cidera janji;
  4. memerlukan penunjukkan menurut UU.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas yang dapat dijadikan obyek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah hak milik,hak guna usaha,hak guna bangunan,hak pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak tanggungan.

Dijadikannya hak pakai sebagai obyek hak tanggungan merupakan langkah maju dalam hukum pertanahan kita juga bagi warga Negara asing menjadi pemegang hak pakai atas tanah Negara yang bila hak tersebut akan dijadikan jaminan disertai persyaratan bahwa modal yang diperoleh harus dipergunakan untuk kegiatan pembangunan di Indonesia. Pengawasan pemerintah terhadap WNA dalam pencapaian tujuan tersebut masih susah untuk dilaksanakan karena memang tidak ada penjabaran lebih lanjut dari maksud ketentuan persyaratan tersebut.

Menurut UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, pada pasal 12 ayat (1) ditegaskan “Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan atau kesatuan dengan tanah tersebut dpat dijadikan jaminan utang dengan:
dibebani hipotik, jika tanahnya tanah milik atau hak guna bangunan.

Dibebani fiducia, jika tanahnya hak pakai atau tanah Negara, namun dengan keluarnya UUHT maka hak pakai tidak lagi dibebankan dengan fiducia tetapi dengan hak tanggungan (pasal 27 UUHT). Selain obyek hak tanggungan seperti tersebut di atas, UUHT juga membuka kemungkinan pembebanan hak tanggungan atas tanah berikut bangunan dan tanaman yang ada diatasnya (pasal 4 ayat (4)), sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. bangunan dan tanah yang bersangkutan merupakan satu kesatuan dengan tanahnya dan bangunan tersebut melekat pada tanah yang bersangkutan.
  2. pembebanannya dinyatakan dengan tegas oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
  3. Ketentuan pasal 4 ayat (4) UUHT tersebut di atas sebagai konsekuensi dari penerapan asas pemilikan secara horizontal yang diambil dari hukum adat.

D. Kedudukan Kreditor

Hak tanggungan tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh suatu perjanjian (perjanjian kredit) antara debitor dan kreditor. Dalam perjanjian itu diatur tentang hubungan hukum antara kreditor dan debitor, baik menyangkut besarnya jumlah kredit yang diterima oleh debitor, jangka waktu pengembalian kredit, maupun jaminan yang nantinya akan diikat dengan hak tanggungan. Oleh karena hak tanggungan tidak dapat dilepaskan dari perjanjian kredit, itulah sebabnya maka hak tanggungan dikatakan accessoir (mengikuti) perjanjian pokoknya.

Kredit yang diberikan oleh kreditor mengandung resiko, maka dalam setiap pemberian kredit, bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa ada suatu perjanjian tertulis. Itu sebabnya diperlukan suatu jaminan kredit dengan disertai keyakinan akan kemampuan debitor melunasi utangnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 8 UU Perbankan No.7/1992 yang menyatakan dalam memberikan kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan.

Dalam menjalankan suatu perjanjian khususnya dalam perjanjian kredit, para pihak (debitor, kreditor) selalu dibebani dua hal yaitu hak dan kewajiban Oleh Subekti (1979:29) mengatakan suatu perikatan yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua sudut: sudut kewajiban-kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh lain pihak, yaitu hak-hak menurut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu.Jadi hak tanggungan merupakan jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberi kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.

Maksud dari kreditor diutamakan dari kreditor lainnya yaitu apabila debitor cidera janji, kreditor pemegang hak tanggungan dapat menjual barang agunan melalui pelelangan umum untuk pelunasan utang debitor. Kedudukan diutamakan tersebut tentu tidak mempengaruhi pelunasan utang debitor terhadap kreditor-kreditor lainnya.
Hukum mengenai perkreditan modern yang dijamin dengan hak tanggungan mengatur perjanjian dan hubungan utang-piutang tertentu antara kreditor dan debitor, yang meliputi hak kreditor untuk menjual lelang harta kekayaan tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan (obyek hak tanggungan) dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut jika debitor cidera janji.

Kreditor pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain (“droit de preference”) untuk mengambil pelunasan dari penjualan tersebut. Kemudian hak tanggungan juga tetap membebani obyek hak tanggungan ditangan siapapun benda itu berada, ini berarti bahwa kreditor pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain (“droit de suite”) (Boedi Harsono, 1999:402).
Dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizing pihak kreditor maka kreditor dapat mengajukan action pauliana yaitu hak dari kreditor untuk membatalkan seluruh tindakan kreditor yang dianggap merugikan.
Dengan demikian, dalam perjanjian tanggungan, pihak kreditor tetap diberikan hak-hak yang dapat menghindarkannya dari praktek-praktek “nakal” debitor atau kelalaian debitor.

E. Kesimpulan

Dalam perjanjian tanggungan seorang kreditor diberikan hak untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari pihak pemberi tanggungan selain itu, pihak kreditor dapat pula mengajukan actio pauliana dalam hal terjadinya pengalihan barag jaminan oleh debitor tanpa izin kreditor.

Minggu, 23 September 2007

ARTIKEL LAIN

Dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan, disebutkan bahwa salah satu objek hak tanggungan adalah hak pakai. Sejauhmana peran hak pakai dalam menunjang pembangunan saat ini silahkan anda klik http://www.fiaji.blogspot.com


Undang-undang No. 5 Tahun 1960 memberikan pengaturan dan menjadi payung hukum bagi masalah pertanahan di negara kita. Salah satu inti dari UUPA adalah pelaksanaan Landreform di Indonesia. Bagaimana keberadaan UUPA sebagai induk landreform di negara kita?baca selengkapnya di http://www.fiaji.blogspot.com


Selengkapnya isi Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Hak Tanggungan dapat dibaca pada beberapa situs hukum di Indonesia, antara lain http://www.hukumonline.com/ atau http://www.asiamaya.com/

HAK SEWA TANAH PERTANIAN

FIA S. AJI (KANWIL BADAN PERTANAHAN NASIONAL PROVINSI GORONTALO)
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan dasar filosofis terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960. UUPA berdasar pada hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara (pasal 3 dan 5 UUPA).
Tanah merupakan aset Negara yang sangat penting. Sejumlah hak-hak yang berhubungan dengan tanah telah diatur dalam UUPA. Lembaga-lembaga hak atas tanah tersebut dapat dibedakan atas hak-hak atas tanah yang primer dan hak-hak atas tanah yang sekunder. Hak-hak atas tanah yang primer adalah hak-hak atas tanah yang umumnya diberikan oleh Negara, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional, yang termasuk didalamnya sebagaimana pengaturan dalam pasal 16 UUPA adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Kemudian hak-hak atas tanah yang sekunder adalah hak-hak yang memberi kewenangan untuk menguasai dan mengusahakan tanah pertanian kepunyaan orang lain, termasuk di dalamnya sebagaimana pengaturan dalam pasal 53 UUPA adalah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.
Hak-hak atas tanah sekunder ini merupakan lembaga-lembaga hak atas tanah yang diberi sifat sementara, artinya pada suatu waktu hak-hak tersebut sebagai lembaga hukum tidak akan ada lagi. Hak-hak tersebut diberi sifat sementara karena dianggap tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional, yang salah satu asas pentingnya adalah bahwa dalam usaha-usaha dibidang pertanian tidak boleh ada pemerasan. Oleh Boedi Harsono (1999:279) dikatakan hak-hak atas tanah yang memungkinkan terjadinya pemerasan orang atau golongan satu oleh orang atau golongan lain tidak boleh ada dalam Hukum Tanah Nasional.
Bahwa pada asasnya tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif oleh yang mempunyai tanah (pasal 10 UUPA). Dalam penjelasan pasal 10 dijelaskan bahwa mengusahakan sendiri secara aktif tidak berarti harus mengerjakannya sendiri namun bisa pula dengan menyewakannya kepada orang lain.
Hak-hak sekunder itu dipandang dapat menimbulkan keadaan penguasaan tanah yang bertentangan dengan isi pasal 10 UUPA itu, dimana dapat memungkinkan timbulnya hubungan-hubungan yang mengandung unsur pemerasan oleh yang mempunyai tanah terhadap pihak yang mengusahakan tanahnya atau sebaliknya.
Hak sewa tanah pertanian sebagai salah satu hak yang bersifat sementara dalam kenyataannya di masyarakat masih sering terjadi. Dimana dalam masyarakat ada yang dikenal dengan sewa untuk tanah sawah dan sewa untuk kebun. Yang membedakan antara kedua sewa tanah pertanian tersebut biasa dari segi pembayaran uang sewa tanahnya yaitu sewa untuk sawah dibayar depan sedangkan sewa untuk kebun dibayar belakang atau pembayaran dilakukan setelah panen, mirip dengan perjanjian bagi hasil dan dalam hukum adat dikenal dengan sewa tanah hasil pertanian.
Masalah pertanahan merupakan masalah yang kompleks. Tidak berjalannya program landreform yang mengatur tentang penetapan luas pemilikan tanah mengakibatkan terjadinya penumpukan luas pemilikan lahan pada satu pihak tertentu, akibatnya ada masyarkat atau pihak lain yang sama sekali tidak memiliki tanah. Meningkatnya kebutuhan akan tanah yang tidak diimbangi oleh penyediaan lahan pertanian yang memadai telah menjadikan sewa tanah pertanian merupakan salah satu alternatif oleh masyarakat untuk menguasai suatu lahan olahan. Hal ini terjadi karena disatu sisi ada masyarakat yang menguasasi tanah dalam jumlah tertentu namun tidak dapat mengolah atau mengusahakannya sendiri secara aktif sehingga tanah menjadi tak produktif, maka disewakanlah tanah itu kepada pihak lain.
Di beberapa daerah di Indonesia, sewa tanah pertanian dikenal dengan beberapa istilah yang berbeda seperti di Tapanuli Selatan disebut "mengasi", di Sumatera Selatan disebut "sewa bumi", di Kalimantan disebut "cukai" di Ambon disebut "sewa ewang" dan di Bali disebut "ngupetenin". Untuk daerah Sulawesi Selatan, sewa tanah pertanian dikenal dengan istilah "paje’". Umumnya praktek sewa menyewa tanah pertanian ini masih terjadi di daerah pedesaan dan pelaksanaannya didasarkan pada hukum adat masing-masing. Hubungan antara penyewa dan pemberi sewa lebih banyak didasarkan pada adanya rasa saling percaya dan kejujuran antara keduanya, jadi tidak melalui suatu proses formal untuk terjadinya suatu perjanjian sewa menyewa tanah pertanian. Sifat sementara yang diberikan oleh UUPA pada hak sewa tanah pertanian dikaitkan pada prinsip tanah untuk penggarap (petani), sebab penyewaan tanah pertanian ini mengandung unsur pemerasan. Oleh karena itu pada saatnya hak sewa tanah pertanian akan dihapuskan melalui suatu undang-undang, akan tetapi undang-undang yang dimaksud hingga 42 tahun usia UUPA belum juga ada, sehingga meskipun bersifat sementara hak sewa tanah pertanian ini tetap diakui eksistensinya. Pertanyaan sekarang adalah bagaimanakah eksistensi sifat sementara hak sewa tanah pertanian sehubungan dengan peningkatan kebutuhan masyarakat akan tanah khususnya tanah garapan atau tanah pertanian?
Hak Sewa Tanah Pertanian menurut Hukum Adat
Menurut Van Dijk dalam Rosmalania Mappiare (1995:18) persewaan tanah dengan pembayaran sewa di muka (jual tahunan), adalah suatu bentuk perpindahan tanah dari si pemilik (yang mempersewakan) untuk waktu yang tertentu dengan pembayaran sejumlah uang tunai kepada orang lain (penyewa). Sesudah habis waktu yang tertentu itu maka tanah tersebut kembali kepada pemiliknya.
Transaksi ini memberi kepada si penyewa hak untuk mengolah tanah tersebut, menanami serta memetik hasilnya atas tanggungan sendiri dan berbuat dengan tanah itu seakan-akan sebagai hak miliknya sendiri. Akan tetapi ia tidak boleh menjual atau mempersewakan selanjutnya dengan tidak seizin pemilik tanah.
R.Supomo (1993:24) menyebutkan istilah sewa tanah dengan jual tahunan yaitu suatu pengoperan hak untuk jangka waktu yang tertentu, misalnya pengoperan hak atas tanah uuntuk jangka waktu selama 2 tahun.
Menurut Bushar Muhammad (1988:119), sewa adalah suatu transaksi yang mengizinkan orang lain untuk mengerjakan tanah dengan membayar uang sewa yang tetap sesudah tiap panen atau sesudah tiap bulan atau tiap tahun.
Oleh Ter Haar (1987:105), perkataan sewa menunjukkan suatu transaksi dengan orang-orang luaran. Dibeberapa daerah di Indonesia menggunakan istilah khusus untuk sewa tanah pertanian ini. Di Tapanuli Selatan dipakai perkataan mengasi baik buat persewaan tanah (sewa),maupun hak menikmati (genotrecht) di Sumatera.
Selatan perkataan sewa (sewa bumi) yaitu bermaksud pajak yang harus dibayar oleh orang luaran untuk pemungutan hasil dari daerah lingkungan "beschikkingsrecht", kemudian perkataan cukai di Kalimantan bermaksud baik pembayarannya orang luaran untuk pemungutan hasil dari daerah lingkungan "beschikkingsrecht" maupun bermaksud pembayarannya orang yang menyewa tanah, di Ambon hak untuk mengumpulkan hasil hutan dalam lingkungan hak pertuanan negory disebut sewa ewang dan di Bali menyewakan tanah pertanian disebut ngupetenin. Untuk daerah Sulawesi Selatan, sewa tanah pertanian dikenal dengan istilah "paje’". Mulanya hanya dikenal paje’ untuk tambak, kemudian dalam perkembangannya bukan hanya untuk sewa tambak namun juga untuk sewa sawah.
Imam Sudiyat (1981:39), mengatakan sewa adalah mengizinkan orang lain untuk mengerjakan atau mendiami tanah yang berada di bawah kekuasannya dengan keharusan membayar sejumlah uang tertentu sebagai uang sewa sesudah setip bulan, setiap panen atau setiap tahun, dengan konsekuensi bahwa sesudah pembayaran itu (seperti bagi hasil), transaksi tersebut dapat diakhiri. Beliau menyatakan pula bahwa istilah sewa menunjukkan suatu transaksi dengan orang lain dilingkungan hukum persekutuan sendiri.
Oleh Liliet Istiqamah (1982:42) menyatakan hak sewa tanah pertanian adalah penyerahan pertanian kepada orang lain yang memberikan sejumlah uang kepada pemilik, dengan perjanjian bahwa setelah yang memberi uang itu menguasai tanahnya selama waktu yang ditentukan tanahnya akan kembali kepada pemiliknya.
Hak Sewa Tanah Pertanian menurut UUPA
UUPA memuat ketentuan pokok mengenai hak sewa yang tercantum dalam pasal 44 dan 45 UUPA namun pasal tersebut hanya mengatur hak sewa tanah untuk bangunan sedang hak sewa untuk tanah pertanian diatur dalam pasal 53 UUPA sebagai suatu hak yang bersifat sementara yang akan dihapus dalam waktu yang singkat, karena dianggap bertentangan dengan asas yang termuat dalam pasal 10 UUPA (tanah harus dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif oleh yang mempunyai) serta dianggap mengandung unsure pemerasan, ini bertentangan dengan pasal 11 ayat (1) UUPA yang mengatur bahwa pada asasnya dalam bidang pertanian tidak boleh ada pemerasan.
Pasal 53 UUPA ayat (1) menyatakan "hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur guna membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat. Dalam penjelasan pasal 53 UUPA disebutkan bahwa hak sewa tanah pertanian hanya mempunyai sifat sementara (pasal 16 jo pasal 53 UUPA) karena itu Negara tidak dapat menyewakan tanah, sebab Negara bukan pemilik tanah.
Tentang hak sewa atas tanah ini, UUPA membedakan hak sewa atas bangunan disatu pihak dan hak sewa atas tanah pertanian di lain pihak. Dasar hukum berlakunya hak sewa tanah pertanian adalah pasal 14 UUPA yang mengatur tentang penggunaan tanah secara efisien dan khususnyan untuk melaksanakan program pemerintah guna mencukupi "sandang pangan" rakyat, maka perlu diadakan perencanaan (planning) dalam pemakaian tanah-tanah pertanian.
Dengan berlakunya UUPA, sewa tanah pertanian mendapat tempat dalam produk hukum tertulis di Indonesia, meskipun hak sewa tanah pertanian dicantumkan sebagai hak yang bersifat sementara dengan memperhatikan peraturan pemerintah yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.38/1960 tentang
Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk Tanaman-Tanaman Tertentu dan UU No. 56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
Mengenai hak sewa tanah pengaturannya juga dijumpai dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) (KUHPerdata), tentang sewa menyewa diatur dalam pasal 1548-1600, dan khusus tentang hak sewa tanah diatur dalam pasal 1588-1600 KUHPerdata. Namun pasal-pasal dalam KUHPerdata yang mengatur soal tanah tersebut sejak mulai berlakunya UUPA harus kita anggap tidak berlaku lagi terhadap sewa menyewa tanah, dengan mengingat konsiderans dari UUPA yang dengan tegas mencabut peraturan-peraturan, antara lain Buku II KUHPerdata yakni sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Walaupun undang-undang sewa menyewa tanah belum ada, pihak yang bersangkutan dapat memberlakukan ketentuan yang termuat dalam KUHPerdata mengenai sewa menyewa tanah yang mereka adakan sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian, jadi dala hal kontrak masih bisa berdasar pada KUH Perdata maka pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengatur sendiri hubungan sewa menyewa yang mereka adakan itu asal tetap saja memperhatikan ketentuan pasal 44 ayat (3) UUPA yang melarang diadakannya syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Hak sewa tanah pertanian dinyatakan bersifat sementara sehubungan dengan pasal 10 ayat (1) UUPA yang menghendaki bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. Sebab masih banyak kemungkinan orang-orang yang mempunyai hak atas tanah pertanian menyuruh orang lain uuntuk mengerjakan tanahnya, sehingga praktek-praktek pemerasan dalam hal ini bisa saja terjadi. Dalam penjelasan pasal 10 UUPA dinyatakan bahwa mengusahakan sendiri bisa pula dengan cara menyewakannya kepada orang lain bila pemilik tidak bisa mengerjakan atau mengolahnya sendiri.
Praktek pemerasan dalam sewa tanah pertanian bisa saja terjadi secara tidak sengaja seperti bila petani (sebagai pemberi sewa) menyewakan tanahnya karena memerlukan sejumlah uang untuk suatu keperluan mendesak, namun setelah menyewakan tanahnya petani tersebut malah kemudian tidak memiliki tanah lagi untuk digarap karena telah disewakan kepada pihak lain. Akibatnya bisa terjadi petani tersebut kemudian bekerja sebagai buruh upahan di tanahnya sendiri yang telah disewakan pada orang lain itu.
Tendensi bahwa golongan ekonomi kuat akan tetap menguasai golongan ekonomi lemah akan selalu ada dan selama itu pula unsur-unsur pemerasan akan tetap ada. Pendistribusian tanah yang tidak merata akibat tidak tuntasnya program landreform mengakibatkan terjadinya penguasaan tanah yang sangat luas oleh satu pihak dan dipihak lain ada masyarakat yang ingin mengolah namun tidak memiliki tanah. Pemilik tanah yang luas kerap tidak dapat mengusahakan atau mengerjakan sendiri tanah pertaniannya, akibatnya tanah menjadi tidak produktif dan terlantar sehingga tak jarang kita masih menemui tanah-tanah kosong yang tak tergarap Maka alternative pemecahan yang ditempuh adalah dengan menyewakan tanah itu kepada pihak lain. Unsur pemerasan dalam sewa menyewa ini tidak akan ada bila telah tercapai kesepakatan antara para pihak, sebab pelaksanaan sewa menyewa ini disatu sisi menolong pihak pemilik tanah yang tak dapat mengusahakan sendiri tanahnya secara aktif untuk tetap memproduktifkan lahannya dan juga akan memperoleh uang sewa atau hasil pertanian, kemudian bagi penyewapun akan dapat menguasai tanah atau lahan yang telah disewanya untuk digarap atau ditanami dengan tanaman jangka panjang atau jangka pendek, disesuaikan dengan jangka waktu sewa menyewa tanah pertanian yang telah disepakati.
Pembayaran sewa dalam hal sewa tanah pertanian, pembayarannya dapat berupa uang atau dalam bentuk hasil pertanian yang diperoleh setelah panen yang disetujui oleh para pihak. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ter Haar (1987:106) bahwa sewa sebagai suatu perjanjian tersendiri sehingga dapat diartikan mengizinkan orang lain berada di tanah yang ia berhak atasnya supaya orang itu mengerjakan atau mendiaminya dengan keharusan membayar sejumlah uang tertentu sebagai uang sewa sesudah setiap bulan, setiap panen atau setiap tahun dan setelah setiap pembayaran persewaan berakhir atau setidak-tidaknya dapat diakhiri.
Terhadap berlakunya hukum adat setempat dalam pelaksanaan hak sewa tanah pertanian, hal ini tidak mengurangi kewenangan pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan khusus mengenai penyewaan tanah. Seperti Peraturan Menteri Negara Agraria No.3/1960 tentang Uang Sewa untuk Tanaman Tebu, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 2/1973 tentang Penggunaan Tanah Rakyat untuk Perusahaan Gula dan Karung Goni, kemudian Permendagri No.5/1974 tentang Penyediaan Tanah dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan
Pelaksanaaan sewa menyewa tanah pertanian di daerah pedesaan umumnya terjadi atas dasar adanya rasa saling percaya dan kejujuran antara penyewa dan pemberi sewa serta perjanjian sewa menyewa yang dilakukan berdasar pada hukum adat dan kebiasaan masyarakat setempat, serta dilakukan di depan kepala adat atau kepala desa, ini tentu saja berbeda dengan pengaturan formal pelaksanaan perjanjian hak sewa tanah pertanian yang harus dilakukan di depan pemerintah setempat, serendah-rendahnya camat yang juga memperkuat kesaksian tentang adanya perjanjian tersebut.
Berlakunya hukum adat ini sejalan dengan pendapat Eddy Ruchiyat (1986:62) yang mengatakan bahwa berdasar ketentuan pasal 58 UUPA maka hukum yang berlaku terhadap sewa menyewa tanah baik untuk bangunan maupun tanah untuk pertanian adalah hukum adat, sepanjang dan selama soalnya belum ada pengaturannya di dalam UUPA serta peraturan-peraturan tertulis lainnya.
Pendapat lain dari J.C.Kaunang dalam Rosmalania Mappiare (1995:56) secara tersirat mengakui adanya peraturan sewa menyewa tanah yang ada sekarang telah diatur dalam Permendagri khususnya yang menyangkut sewa menyewa tanah dalam bidang perusahaan perkebunan, bahkan dapat dikatakan masalah sewa menyewa tanah pertanian diatur pula secara khusus antara Pemda Tingkat I dan II tentang besarnya sewa tanah dan penghasilan lain dan perkebunan tebu. Pandangan J.C.Kaunang ini menitikberatkan pada Permendagri, dimana dikatakan bahwa sewa tanah pertanian diberlakukan khususnya Permendagri No.5/1974 tentang Penyediaan Tanah untuk Keperluan Perusahaan dan Permendagri No.85/1976 tentang Penggunaan Tanah Milik Rakyat untuk Perusahaan Negara Persero Perkebunan untuk Tanaman Tebu dan Rosella/Corchorus, sesuai pola pertanian setempat untuk tahun 1976/1977.
Salah satu contoh, Sewa tanah pertanian yang pernah terjadi di Kabupaten Takalar antara petani/pemilik tanah di daerah Takalar dengan perusahaan gula Takalar, dimana para petani/pemilik tanah menyutujui sewa tanah pertanian mereka dengan sistem Imbalan Penggunaan Lahan yaitu petani/pemilik lahan akan memperoleh beberapa kuintal gula yang jumlahnya disesuaikan dengan luas lahan masing-masing yang disewa oleh pabrik gula Takalar, dan ini dianggap sebagai uang sewa dari penggunaan lahan tersebut.Jadi bahwa hak sewa tanah pertanian yang tercantum pada pasal 53 UUPA pelaksanaannya disesuaikan dengan Permendagri yang menyatakan pada lembaga sewa bagi setiap daerah Tingkat I dan II dan khusus berlaku bagi perusahaan gula, sedangkan sewa tanah pertanian lainnya tetap dipertahankan berlakunya hukum adat masing-masing. Masih dilaksanakannya sewa tanah pertanian ini oleh masyarakat sebaba dikaui bahwa jika dibandingkan dengan gadai yang juga merupakan salah satu hak yang bersifat sementara, maka hak sewa tanah pertanian ini tidak lagi memerlukan penebusan dan jangka waktu yang ditentukan telah berakhir tanah tersebut kembali kepada pemiliknya sedang gadai tanah memerlukan penebusan kecuali jika gadai tanah itu telah berlangsung selama 7 tahun (pasal 7 UU No.56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian).
Kesimpulan
Bahwa hak sewa tanah pertanian walaupun dikatakan sebagai hak yang bersifat sementara dalam artian suatu saat akan dihilangkan, namun masih diakui eksistensinya dalam masyarakat sebab dengan adanya sewa tanah pertanian ini akan menolong kedua belah pihak baik pihak penyewa maupun pihak penyewa, oleh karena itu sewa tanah pertanian tidak perlu untuk dihilangkan. Meningkatnya kebutuhan akan tanah khususnya tanah atau lahan pertanian maka sewa tanah pertanian merupakan salah satu alternative pemecahannya, terlepas dari apakah terjadi unsur pemerasan di dalam pelaksanaannya atau tidak, apalagi umumnya pelaksanaan sewa tanah pertanian yang terjadi dimasyarakat disesuaikan dengan hukum adat masing-masing.
Saran
Agar hak sewa tanah pertanian segera mendapat pengaturan secara tegas dalam hukum pertanahan khususnya dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan untuk menghilangkan sifat kesementaraannya dan guna lebih menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan hak sewa tanah pertanian.